Kisahku dimulai saat ku menginjakan kaki di kampus jingga. Meski ini bukan pilihan tapi ini juga bukan sebuah kutukan yang menakutkan untukku karena disini, di kampus jingga ini aku menemukan jalanku. Keinginanku yang mendarah daging sejak aku duduk di bangku sekolah dasar harus sirna seketika karena biaya. Nurutiah kecil saat itu tak mengerti jika cita-citanya menjadi seorang Bidan membutuhkan biaya yang tak sedikit. aku saat itu belum pernah mengikuti training motivasi dan belum mengerti jika mimpi itu harus diucapkan dan dituliskan, yang aku tau saat itu adalah aku ingin menjadi seorang bidan yang membantu wanita bersalin dan mengobati anak-anak yang sakit. Menolong dan membantu orang, sangat menyenangkan.
“Tertunda”, karena terlalu berharap pada salah satu akbid negeri, aku tertinggal untuk mendaftar pada universitas negeri. Orang tua ku tak mengizinkan jika aku kuliah di universitas swasta, entah apa alasannya tapi saat itu mereka lebih memilihkan menunda kuliahku satu tahun daripada harus kuliah di universitas swasta. Tak ada kata yang mampu terucap selain menuruti kehendak orang tua ku terutama ayah, beliau lah yang mempunyai hak penuh atas keputusan yang di ambil di rumah.
Satu tahun cukup untuk membuatku pasrah dan merubah haluan. Aku tak lagi mengejar cita-citaku. Aku hanya ingin kuliah dan belajar, tak peduli jurusan apa dan kampus apa. Teman ayahku mengenalkan sebuah kampus yang aku tidak pernah dengar sebelumnya, kampus yang cukup asing ditelingaku, “IAIN”.
Bismillah, kupilih jurusan TBI (Tadris Bahasa Inggris) walaupun sebenarnya aku tidak tau kemana arah jurusan ini karena aku tak mengerti arti kata “tadris”. Alasanku memilih jurusan ini pun karena aku tak mengenal jurusan lain di kampus ini, semua jurusan terlihat asing dimataku, “muamalat, ekonomi islam, jisayah syakhsiah, tafsir hadis, dll”, ah aku tak mengenal jurusan-jurusan itu.
Awal masa perkuliahan berjalan biasa, normal layaknya mahasiswa pada umumnya. Namun hal yg berbeda adalah aku tidak terbiasa jauh dari rumah dan keluargaku. Aku begitu tersiksa tinggal di kostan, setiap hari berlalu ada dalam hitunganku.
Kuliah ternyata tak seperti yang kubayangkan. Dosen masuk semaunya tanpa mengikuti jadwal yang ada. Selain itu, kuliah pun hanya diberi tugas dan tugas. Hari-hari terasa membosankan sampai akhirnya ku putuskan untuk mengisi hari setelah kuliah dengan berorganisasi. Pilihanku jatuh pada KAMMI (eksternal) dan LDK (internal). Ternyata berorganisasi sangat menyenangkan. dibandingkan dengan tidur dikosan dan bermain-main sambil menghitung hari pulang, berorganisasi jauh lebih bermanfaat.
Aku mulai menemukan teman-teman yang sangat baik dan membawa kebaikan untukku di organisasi ini. aku mulai mengerti bagaimana seharusnya aku hidup dan menjalani takdirku. Ketika OPAK, aku mendengar bahwa ada empat orang mahasiswa IAIN yang akan berangkat ke Amerika. Dalam hatiku berbisik, aku pun ingin seperti mereka, alangkah bahagianya orang tua, guru-guru dan sahabat-sahabat mereka. Aku semakin termotivasi untuk menjadi seperti mereka ketika aku tau bahwa salah satu mahasiswa berprestasi itu adalah ketua umum LDK. Walaupun saat OPAK, mereka berada di atas panggung tapi aku tak mengenali ketua umum LDK tersebut hingga temanku yang memberitahuku.
Di organisasi ini aku menemukan teman-teman yang baik dengan mimpi yang sama yaitu go abroad. Dengan motivasi dan bantuan dari Akh Elhafid (ketua umum LDK), kami berkumpul dan belajar setiap Sabtu jam 6 pagi. Kami membentuk kelompok belajar bahasa inggris terdiri dari 10 orang mahasiswa baru yang memiliki mimpi yang sama. Kami member nama kelompok belajar itu “Global Institute”. Disaat mahasiswa lain pulang dan beristirahat dirumahnya, kami mencoba bernegoisasi dengan diri kami sendiri untuk menunda kepulangan beberapa jam dan belajar bahasa inggris agar mimpi kami tercapai.
Namun, tak lama kemudian akh Elhafid mulai sibuk menyiapkan keberangkatannya dan meninggalkan kami. Tapi kami terus berkumpul dan belajar dengan kemampuan yang kami punya. Kadang kami hanya berlima, kadang berempat, bahkan bertiga. Tapi kami terus belajar dan belajar. Walau jadwal tak lagi tetap, walau fasilitator mulai sibuk tapi kami tidak lupa akan mimpi kami untuk bisa berangkat keluar negeri.
Setelah kami semester lima, ada info bahwa IELSP cohort 8 sudah dibuka. Kami bersemangat kembali untuk belajar dan dikhususkan pada TOEFL. Beberapa minggu kami belajar, tiba waktunya untuk TOEFL test. Perjuangan mendaftar dan melaksanakan test ini sangat luar biasa. Kami harus mendaftar ke UI depok. Untuk mendaftar saja kami menghabiskan waktu seharian, karena perjalanan sangat jauh. Setelah mendaftar, kami berpikir bagaimana saat test nanti, tidak mungkin kami berangkat dari serang, pasti kami akan terlambat. Aku menghubungi adiku yang saat itu baru masuk kuliah dan tinggal dikosan. Kosannya dekat dengan UI depok, aku memilih untuk menginap dikosannya, begitupun dengan teman-temanku. Mereka ikut menginap dikosan adikku. Memang adikku dipercaya untuk memegang kunci seluruh kamar jadi kami bisa menempati kamar itu saat kosong.
Kami mengirim semua application form dan dokumen yang mendukung melalui TIKI. Detik-detik mendebarkanpun dimulai. Dua minggu kemudian, sebagian dari kami mendapatkan telp dari IIEF untuk melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu interview. Tetapi waktu itu aku tidak ditelp, berarti aku tidak lulus ke seleksi berikutnya. Bisa dibayangkan betapa hancur dan sedihnya aku. Aku senang melihat teman-temanku bersiap untuk interview tapi juga hancur menerima kenyataan bahwa aku tidak lulus. Teringat sebuah kalimat dalam film three idiots “menyedihkan melihat teman kita gagal, tapi lebih menyedihkan melihat teman kita berhasil dan kita tidak”.
Kuikhlaskan semuanya, dan kumulai hari yang baru dengan mimpi yang baru.
Setelah dua orang sahabatku dinyatakan lulus dan berangkat ke amerika, aku mendapatkan kabar bahwa telah dibuka kembali IELSP cohort 9. Aku kumpulkan kembali semangat dan sisa-sisa keyakinanku. Teman-temanku member dukungan agar aku mencoba kembali. Dengan semua sisa kekuatan mental yang aku punya, aku isi kembali lembar-lembar formulir dan kutulis semua hal yang kupikir mampu mendukung dan jadi pertimbangan untukku diterima menjadi grantee.
Seseorang mengatakan bahwa kalau kita ingin mendapatkan sesuatu, maka mintalah pada Allah. Teruslah sebut dan minta hal yang kita inginkan pada Allah agar Allah mengabulkannya. Ketidakberuntungan yang pertama membuatku lebih pasrah dan tegar. Aku lebih bisa menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk nanti. You are what you through into, kamu adalah apa yang kamu lewati.
Beberapa minggu kemudian aku mendapatkan telp agar datang pada interview. Saat interview aku tidak merasakan hal yang aneh. aku tidak merasa tegang walaupun teman-temanku merasa tegang. Aku merasa tenang dan santai menghadapi interviewer yang menurut beberapa participant, beliau sangat jutek dan strange. Entah apa yang menimpaku, aku merasa semua akan berjalan baik. Begitupun saat aku di interview, bahkan interviewer yang strange itu tersenyum padaku. Tetapi saat pulang interview itu, perjuangan benar-benar terasa. Untuk pertama kalinya aku pulang dari Jakarta sendirian. Ditengah malam, dengan rintik hujan yang membuatku basah kuyup. Angkutan umum grogol-balaraja pun selalu penuh. Jika datang satu maka langsung diserbu penumpang, mereka berebut tanpa peduli laki-laki ataupun perempuan. Aku yang tak terbiasa dengan kondisi seperti ini merasa panic, bagaimana aku bisa sampai kerumah jika keadaannya seperti ini. akhirnya aku memberanikan diri, dengan baju yang sudah basah oleh hujan aku menerobos kerumunan para penumpang yang berebut masuk angkot. Sengaja aku kejar kursi yang dekat dengan supir agar tak terlalu banyak pesaing yang berdorong-dorongan denganku.
Berhasil, mobil sudah berjalan tapi owh macet… aku lelah hingga tertidur di mobil, setelah sampai dibalaraja aku dibangunkan oleh supir agar segera turun karena sudah sampai balaraja tapi karena sangat lelah aku tak mendengar suara supir tersebut. Kejamnya bapak supir, aku dimarahinya karena tak segera bangun dan turun. Tanpa terasa air mataku menetes. Saat ku ingin menghubungi orang tua ku agar menjemput dibalaraja karena sudah sangat malam ternyata hp ku mati, lowbat. Aku naik angkot kembali menuju ceplak dan naik ojeg menuju rumah. Sekitar jam 12 aku sampai dirumah dengan pakaian basah dan lelah. Tak ada kata yang bisa ku sampaikan pada orang tuaku selain menangis. Rasanya begitu kesal.
Dua minggu kemudian, perjuangan itu terjawab. IIEF menelponku pada pukul 11.40 WIB. Saat itu aku sedang membantu teman-teman BEM UNTIRTA yang tengah mengadakan acara dialog dengan gubernur Banten namun peserta diluar prediksi hinggan konsumsi kurang 100 bungkus. Disaat mencari konsumsi itulah aku mendapat telp dan berita bahagia.
Jika aku tidak bertemu dengan orang-orang hebat di KAMMI dan LDK, mungkin aku tidak akan pernah merasakan penglaman yang sangat luar biasa ini. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah..
Posted on 5:08 PM / 0
komentar / Read More